10 September 2010

PUASA SYAWAL

 

Hukum Puasa 6 Hari di Bulan Syawal

Dalil tentang Puasa Syawal

عن أبي أيوب رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : " من صام رمضان وأتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر " (رواه مسلم وأبو داود والترمذي والنسائي وابن ماجه).

Dari Abu Ayyub radhiyallahu anhu:
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Siapa yang berpuasa Ramadhan dan melanjutkannya dengan 6 hari pada Syawal, maka itulah puasa seumur hidup'." [Riwayat Muslim 1984, Ahmad 5/417, Abu Dawud 2433, At-Tirmidzi 1164]
 
Hukum Puasa Syawal 

Hukumnya adalah sunnah: "Ini adalah hadits shahih yang menunjukkan bahwa berpuasa 6 hari pada Syawal adalah sunnah. Asy-Syafi'i, Ahmad dan banyak ulama terkemuka mengikutinya. Tidaklah benar untuk menolak hadits ini dengan alasan-alasan yang dikemukakan beberapa ulama dalam memakruhkan puasa ini, seperti; khawatir orang yang tidak tahu menganggap ini bagian dari Ramadhan, atau khawatir manusia akan menganggap ini wajib, atau karena dia tidak mendengar bahwa ulama salaf biasa berpuasa dalam Syawal, karena semua ini adalah perkiraan-perkiraan, yang tidak bisa digunakan untuk menolak Sunnah yang shahih. Jika sesuatu telah diketahui, maka menjadi bukti bagi yang tidak mengetahui."
[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/389]

Hal-hal yang berkaitan dengannya adalah:

1. Tidak harus dilaksanakan berurutan.

"Hari-hari ini (berpuasa syawal-) tidak harus dilakukan langsung setelah ramadhan. Boleh melakukannya satu hari atau lebih setelah 'Id, dan mereka boleh menjalankannya secara berurutan atau terpisah selama bulan Syawal, apapun yang lebih mudah bagi seseorang. ... dan ini (hukumnya-) tidaklah wajib, melainkan sunnah."
[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/391]

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:

"Shahabat-shahabat kami berkata: adalah mustahab untuk berpuasa 6 hari Syawal. Dari hadits ini mereka berkata: Sunnah mustahabah melakukannya secara berurutan pada awal-awal Syawal, tapi jika seseorang memisahkannya atau menunda pelaksanaannya hingga akhir Syawal, ini juga diperbolehkan, karena dia masih berada pada makna umum dari hadits tersebut. Kami tidak berbeda pendapat mengenai masalah ini dan inilah juga pendapat Ahmad dan Abu Dawud." [Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab]

Bagaimanapun juga bersegera adalah lebih baik: Berkata Musa: 'Itulah mereka telah menyusul aku. Dan aku bersegera kepada-Mu, Ya Rabbi, supaya Engkau ridho kepadaku. [QS Thoha: 84]

2. Tidak boleh dilakukan jika masih tertinggal dalam Ramadhan 

"Jika seseorang tertinggal beberapa hari dalam Ramadhan, dia harus berpuasa terlebih dahulu, lalu baru boleh melanjutkannya dengan 6 hari puasa Syawal, karena dia tidak bisa melanjutkan puasa Ramadhan dengan 6 hari puasa Syawal, kecuali dia telah menyempurnakan Ramadhan-nya terlebih dahulu."
[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/392]

Tanya : Bagaimana kedudukan orang yang berpuasa enam hari di bulan syawal padahal punya qadla(mengganti) Ramadhan ? 

Jawab : Dasar puasa enam hari syawal adalah hadits berikut

"Barangsiapa berpuasa Ramadhan lalu mengikutinya dengan enam hari Syawal maka ia laksana mengerjakan puasa satu tahun."
Jika seseorang punya kewajiban qadla puasa lalu berpuasa enam hari padahal ia punya kewajiban qadla enam hari maka puasa syawalnya tak berpahala kecuali telah mengqadla ramadlannya (Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin)

Hukum mengqadha enam hari puasa Syawal 

Pertanyaan :

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Seorang wanita sudah terbiasa menjalankan puasa enam hari di bulan Syawal setiap tahun, pada suatu tahun ia mengalami nifas karena melahirkan pada permulaan Ramadhan dan belum mendapat kesucian dari nifasnya itu kecuali setelah habisnya bulan Ramadhan, setelah mendapat kesucian ia mengqadha puasa Ramadhan. Apakah diharuskan baginya untuk mengqadha puasa Syawal yang enam hari itu setelah mengqadha puasa Ramadhan walau puasa Syawal itu dikerjakan bukan pada bulan Syawal ? Ataukah puasa Syawal itu tidak harus diqadha kecuali mengqadha puasa Ramadhan saja dan apakah puasa enam hari Syawal diharuskan terus menerus atau tidak ? 

Jawaban :

Puasa enam hari di bulan Syawal, sunat hukumnya dan bukan wajib berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan kemudian disusul dengan puasa enam hari di bulan Syawal maka puasanya itu bagaikan puasa sepanjang tahun" [Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya]

Hadits ini menunjukkan bahwa puasa enam hari itu boleh dilakukan secara berurutan ataupun tidak berurutan, karena ungkapan hadits itu bersifat mutlak, akan tetapi bersegera melaksanakan puasa enam hari itu adalah lebih utama berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya) : "..Dan aku bersegera kepada-Mu. Ya Rabbku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku)" [Thaha : 84]

Juga berdasarakan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah yang menunjukkan kutamaan bersegera dan berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan. Tidak diwajibkan untuk melaksanakan puasa Syawal secara terus menerus akan tetapi hal itu adalah lebih utama berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya) : "Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus dikerjakan walaupun sedikit"
Tidak disyari'atkan untuk mengqadha puasa Syawal setelah habis bulan Syawal, karena puasa tersebut adalah puasa sunnat, baik puasa itu terlewat dengan atau tanpa udzur.

Mengqadha enam hari puasa Ramadhan di bulan Syawal, apakah mendapat pahala puasa Syawal enam hari

Pertanyaan

Syaikh Abduillah bin Jibrin ditanya : Jika seorang wanita berpuasa enam hari di bulan Syawal untuk mengqadha puasa Ramadhan, apakah ia mendapat pahala puasa enam hari Syawal ?

Jawaban

Disebutkan dalam riwayat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda (yang artinya) : "Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari bulan Syawal maka seakan-akan ia berpuasa setahun"

Hadits ini menunjukkan bahwa diwajibkannya menyempurnakan puasa Ramadhan yang merupakan puasa wajib kemudian ditambah dengan puasa enam hari di bulan Syawal yang merupakan puasa sunnah untuk mendapatkan pahala puasa setahun. Dalam hadits lain disebutkan (yang artinya) : "Puasa Ramadhan sama dengan sepuluh bulan dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan dua bulan"

Yang berarti bahwa satu kebaikan mendapat sepuluh kebaikan, maka berdasarkan hadits ini barangsiapa yang tidak menyempurnakan puasa Ramadhan dikarenakan sakit, atau karena perjalanan atau karena haidh, atau karena nifas maka hendaknya ia menyempurnakan puasa Ramadhan itu dengan mendahulukan qadhanya dari pada puasa sunnat, termasuk puasa enam hari Syawal atau puasa sunat lainnya. Jika telah menyempurnakan qadha puasa Ramadhan, baru disyariatkan untuk melaksanakan puasa enam hari Syawal agar bisa mendapatkan pahala atau kebaikan yang dimaksud. Dengan demikian puasa qadha yang ia lakukan itu tidak bersetatus sebagai puasa sunnat Syawal.

Apakah suami berhak untuk melarang istrinya berpuasa Syawal

Pertanyaan

Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya : Apakah saya berhak untuk melarang istri saya jika ia hendak melakukan puasa sunat seperti puasa enam hari Syawal ? Dan apakah perbuatan saya itu berdosa ?

Jawaban

Ada nash yang melarang seorang wanita untuk berpuasa sunat saat suaminya hadir di sisinya (tidak berpergian/safar) kecuali dengan izin suaminya, hal ini untuk tidak menghalangi kebutuhan biologisnya. Dan seandainya wanita itu berpuasa tanpa seizin suaminya maka boleh bagi suaminya untuk membatalkan puasa istrinya itu jika suaminyta ingin mencampurinya. Jika suaminya itu tidak membutuhkan hajat biologis kepada istrinya, maka makruh hukumnya bagi sang suami untuk melarang istrinya berpuasa jika puasa itu tidak membahayakan diri istrinya atau menyulitkan istrinya dalam mengasuh atau menyusui anaknya, baik itu berupa puasa Syawal yang enam hari itu ataupun puasa-puasa sunnat lainnya.

Hukum puasa sunnah bagi wanita bersuami

Pertanyaan

Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya : Bagaimanakah hukum puasa sunat bagi wanita yang telah bersuami ?

Jawaban

Tidak boleh bagi wanita untuk berpuasa sunat jika suaminya hadir (tidak musafir) kecuali dengan seizinnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : "Tidak halal bagi seorang wanita unruk berpuasa saat suminya bersamanya kecuali dengan seizinnya" dalam riwayat lain disebutkan : "kecuali puasa Ramadhan"

Adapun jika sang suami memperkenankannya untuk berpuasa sunat, atau suaminya sedang tidak hadir (bepergian), atau wanita itu tidak bersuami, maka dibolehkan baginya menjalankan puasa sunat, terutama pada hari-hari yang dianjurkan untuk berpuasa sunat yaitu : Puasa hari Senin dan Kamis, puasa tiga hari dalam setiap bulan, puasa enam hari di bulan Syawal, puasa pada sepuluh hari di bulan Dzulhijjah dan di hari 'Arafah, puasa 'Asyura serta puasa sehari sebelum atau setelahnya.

(Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita Muslimah, Amin bin Yahya Al-Wazan)

Sumber : www.salafy.or.id

مقتبسة من كتاب : فتاوى الجامعة للمرأة المسلمة للشيخ أمين بن يحيى الوزن
(Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita Muslimah, Amin bin Yahya Al-Wazan)

 

LEBARAN



DI ANTARA PENGERTIAN LEBARAN

Segala puji bagi Allah I yang menyempurnakan agama untuk kita, menyempurnakan nikmat atas kita, meridhai Islam sebagai agama kita. Shalawat dan salam semoga terus tercurah kepada nikmat yang diberikan dan rahmat yang dihadiahkan, yaitu Nabi kita Muhammad bin Abdullah r, keluarga, para sahabat, dan orang yang setia kepadanya. Amma ba'du:
Sesungguhnya lebaran merupakan salah satu penampakan  dan syi'ar agama  yang diagungkan, yang mengandung hukum yang besar, pengertian yang besar, rahasia  yang indah yang tidak diketahui semua umat dalam berbagai hari besarnya.

Ied dalam pengertian agama adalah bersyukur kepada Allah I atas kesempurnaan ibadah yang tidak hanya diucapkan seorang mukmin dengan lisannya, akan tetapi bergelora dalam batinnya sebagai bentuk ridha dan tenang, nampak pada lahirnya karena senang dan dengan muka berseri, membuka di antara jiwa orang-orang beriman dengan muka cerah dan akrab, dan menghapus jarak di antara orang-orang kaya dan orang-orang miskin.

Ied dalam pengertian kemanusiaan adalah hari bertemunya kekuatan orang kaya dan kelemahan orang miskin di atas cinta, kasih sayang dan keadilan dari wahyu langit yang berjudul: zakat, ihsan, dan lapang dada.
Ied nampak pada orang kaya, maka ia melupakan ketergantungannya pada harta, turun dari ketinggiannya seraya merendahkan diri kepada manusia dan siap menerima kebenaran, mengingat bahwa semua orang yang ada di sisinya adalah para saudara dan penolongnya, maka ia menghapus kesalahan setahun dengan ihsan satu hari.

Ied nampak pada orang fakir, maka ia membuang sakit hatinya, naik dari ufuk yang tinggi, melupakan kesusahan dan kepayahan selama satu tahun, keceriaan di hari lebaran menghapuskan bekas kedengkian dan rasa jemu dari dirinya, dan lari di sisinya rasa putus asa di saat menangnya dorongan harapan.
Ied (lebaran) dalam pengertian kejiwaan adalah garis pemisah di antara ikatan yang jiwa tunduk baginya dan anggota tubuh merasa tenang kepadanya, dan d kebebasan yang tanpa batas untuk memuaskan hawa nafsunya.

Ied dalam pengertian waktu adalah bagian dari masa yang ditentukan untuk melupakan kesedihan dan mengesampingkan beban, serta istirahat (rileks)nya kekuatan yang capek dalam kehidupan.
Ied dalam pengertian sosial adalah hari anak-anak yang melimpah rasa bahagia pada mereka, hari para fakir miskin yang mendapatkan kemudahan dan keluasan rizqi, hari seperti rahim yang mengumpulkannya di atas kebajikan dan menyambung silaturrahim, hari kaum muslimin yang menyatukan mereka di atas saling memaafkan dan mengunjungi, hari handai taulan yang diperbaharui pada mereka ikatan kecintaan, hari jiwa yang mulia yang melupakan tekanannya. Maka berkumpul setelah berpisah, menjadi bersih setelah kotor, terbuka setelah sebelumnya mengerut.

Dalam semua merupakan renovasi (rekonstruksi) ikatan sosial yang terkuat dalam bentuk rasa cinta dan persaudaraan.

Dan padanya ada rasa akrab yang merasuk kalbu, rasa bahagia dalam jiwa, dan rasa lapang yang dirasakan tubuh.

Dan padanya ada maksud sosial juga, yaitu mengingatkan berita masyarakat terhadap hak orang-orang yang lemah dan papa, sehingga rasa bahagia dirasakan setiap rumah dan kenikmatan merata di setiap keluarga.
Kepada pengertian sosial ini disyari'atkan zakat fitrah di hari raya iedul fitri atau pada hari-harinya yang diberikan tangan-tangan yang baik di jalur-jalur yang baik. Maka tidak bersinar matahari lebaran kecuali senyuman terlihat di setiap bibir dan rasa bahagia meliputi setiap hati.

Di hari lebaran, orang-orang yang tidak beruntung merasakan angin keberuntungan, orang-orang yang terjepit merasakan udara keluasan. Dan padanya orang-orang yang papa merasakan rizqi yang baik dan orang-orang yang mampu menikmati kesenangannya.

Di hari lebaran, jiwa yang keras mengalirkan arahnya kepada kebaikan dan menggerakkan jiwa yang kering kepada kebaikan.

Di hari lebaran, ada hukum-hukum yang menekan hawa nafsu, di belakangnya ada hikmah yang memberikan gizi kepada akal, dari bawahnya ada rahasia yang membersihkan jiwa, di hadapannya ada kenangan yang membuahkan untuk mengikuti kebenaran dan kebaikan, dalam isinya ada pelajaran yang mengungkapkan hakikat, timbangan yang menegakkan keadilan di antara golongan yang berbeda di antara manusia, tujuan yang benar dalam menjaga persatuan, memperbaiki perkara, pelajaran praktik yang tinggi dalam pengorbanan, mengutamakan orang lain dan kecintaan.

Di hari lebaran, nampak keutamaan ikhlas yang meliputi semua orang, orang-orang saling memberikan hadiah hati yang ikhlas kepada yang lain. Lebaran seolah-olah adalah ruh satu keluarga dalam semua umat.
Di hari lebaran, ruh tetangga menjadi luas, sehingga kembali kota yang besar dan seolah-olah penduduknya tinggal di satu rumah yang terwujud padanya persaudaraan dalam arti pengamalan.

Di hari lebaran, bertolak tabiat di atas fitrahnya dan nampak rasa simpati belas kasihan di atas hakikatnya.
Lebaran dalam Islam merupakan ketenangan dan kedamaian, mengagungkan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa, dan jauh dari sebab-sebab kebinasaan dan masuk neraka.

Dan bersama semua itu, lebaran merupakan lapangan berlomba menuju kebaikan, peluang bersaing dalam kemuliaan.

Di antara bukti yang menunjukkan keagungan lebaran ini, bahwa Islam menyertakan setiap lebaran dari dua lebaran yang agung dengan salah satu syi'arnya yang umum, yang mempunyai kedudukan besar dalam rohani, memiliki peranan agung dalam masyarakat, baginya ada angin yang bertiup dengan kebaikan, kebajikan dan kasih sayang. Baginya ada pengaruh yang dalam pada pendidikan pribadi dan jamaah, yang umat tidak pantas ada serta bermanfaat keberadaannya kecuali dengannya. Dua syi'ar tersebut adalah bulan Ramadhan yang datangnya iedul fitri merupakan penutupnya yang indah, ungkapan syukur atas kesempurnaannya dan haji yang mana iedul adha merupakan bagian dari hari-harinya dan waktu yang mengisyaratkan keagungan hukumnya.

Maka inilah ikatan Ilahi di antara dua lebaran dan di antara dua syi'ar ini sudah cukup dalam memutuskan atasnya, membuka hakikat padanya. Dan keduanya merupakan dua hari besar agama dengan sunnah-sunnah yang disyari'atkan padanya. Bahkan sampai hal-hal yang dianjurkan padanya, yang secara lahir hanyalah duniawi semata seperti memakai yang baik, berpakaian, memakai minyak wangi, memberi infak yang banyak terhadap keluarga, menjamu tamu, bersenang-senang, bermain-main yang tidak keluar kepada batas berlebih-lebihan, mencari yang mahal, dan kebanggaan yang tercela. Semua perkara yang dibolehkan ini termasuk dalam taat apabila baik niatnya. Maka di antara keindahan Islam bahwa yang dibolehkan, apabila baik niat padanya dan untuk merealisasikan hikmah Allah I dengannya atau mensyukuri nikmat-Nya niscaya berubah menjadi ibadah, sebagaimana sabda Nabi r: "Sehingga sesuap (nasi) yang engkau berikan di mulut istrimu."

Kedua sisi lebaran dalam makna Islam adalah keindahan, kebesaran, kesempurnaan, ikatan dan hubungan, rasa bahagia yang menyentuh kalbu, ketenangan yang menyertai jiwa, dan meninggalkan kesedihan dan sakit hati.

Rahasianya bukan pada hari lebaran yang harinya dimulai dengan terbitnya matahari dan berakhir dengan tenggelamnya. Sesungguhnya rahasianya adalah pada amal perbuatan yang dibangun pada hari itu, yang meliputinya berupa kebaikan, yang meliputi jiwa yang disiapkan untuk kebaikan padanya berupa ketinggian dan kesempurnaan. Maka lebaran sesungguhnya adalah pengertian yang ada pada hari lebaran itu, bukan harinya.

Inilah sebagian pengertian ied sebagaimana yang kita pahami dari Islam, dan sebagaimana direalisasikan oleh kaum muslimin yang benar. Di manakah kita pada hari ini dari lebaran ini? Di manakah lebaran-lebaran ini dari kita? Apakah bagian kita dari pengertian ini? Di manakah bekas ibadah dari pengaruh kebiasaan dalam lebaran kita?

Sesungguhnya yang disayangkan bahwa sebagian kaum muslimin melepaskan lebaran-lebaran ini dari pakaian agama, mengosongkannya dari nilai-nilai kerohnian yang menyejukan jiwa dengan kesenangan dan ketenangan. Bahkan sebagian kaum muslimin menghadapi lebaran dengan semangat yang lemah dan perasaan yang dingin, sehingga lebaran seolah-olah kegiatan perdagangan yang mengikuti kesuburan dan kekeringan, terpengaruh dengan kesusahan dan kemudahan, keuntungan dan kerugian, tanpa ungkapan rohani yang mempengaruhi dan tidak terpengaruh.

Sungguh di antara hak lebaran adalah bahwa kita merasa bahagia dan di antara hak kita adalah bahwa kita saling mengucapkan selamat dan menghilangkan kesedihan serta saling memberikan muka ceria, maka sesungguhnya hak saudara-saudara kita yang tersuir lagi tersiksa di timur dan barat adalah bahwa kita merasa berduka karena kesedihan mereka, dan memperhatikan persoalan mereka. Maka masyarakat yang bahagia adalah masyarakat yang memiliki akhlak yang tinggi di hari lebaran dan perasaan kemanusiannya memanjang sejauh mata memandang. Dan hal itu nampak di hari lebaran saling tolong menolong lagi saling berkasih sayang, sehingga hatinya dipenuhi dengan rasa cinta, kebajikan, dan kasih sayang. Dan  ikut merasakan musibah saudara-saudara mereka di berbagai penjuru dunia saat mereka mendapat bencana dan musibah.
Bukanlah maksudnya mengucurkan air mata dan memakai baju duka cita sebagaimana orang yang berduka saat kehilangan kekasih atau kerabat, dan bukan pula tidak mau makan seperti yang dilakukan oleh orang yang puasa.

Namun maksudnya adalah bahwa di hari lebaran, kita nampak dengan penampilan umat yang mengerti, yang selalu seimbang di antara kesenangan dan kesedihan, maka perayaan kita dengan hari lebaran jangan menghalangi perasaan kita terhadap musibah yang menimba saudara kita.
Yang dimaksudkan dari hal itu bahwa kita sederhana dalam kebahagiaan dan berbelanja, agar kita bisa membantu umat kita dalam pertarungannya yang pahit lagi berdarah.

Juga maksudnya adalah kita merasakan persaudaraan yang kuat di hari lebaran, maka nampak dalam pembicaraan kita tentang bencana dan perjuangan saudara-saudara kita yang menguatkan semangat, membuka tangan untuk memberi dan mengucapkan doa, inilah duka cita yang diterjemahkan kepada amal nyata.

Wahai  muslim yang berbahagia dengan hari lebaran: tidak diragukan bahwa engkau bersiap-siap atau sudah bersiap-siap untuk lebaran siapapun engkau, atau engkau ibu atau anak muda, atau wanita remaja. Tidak diragukan bahwa engkau telah menyiapkan segala kebutuhan lebaran berupa pakaian, makanan dan yang lainnya. Tambahkanlah atas semua itu persiapan sebagai ungkapan rasa syukur, menambahkan cahaya catatan amalmu. Persiapan yang lebih mulia di sisi Allah I dan lebih pasti dalam pandangan persaudaraan.

Ketahuilah, ia adalah persiapanmu untuk melapangkan kesusahan orang yang ada di sekitarmu, orang-orang yang tidak mampu dari para tetangga, atau kerib kerabat atau semisal mereka. Perhatikanlan mereka, tanyakanlah kebutuhan mereka, dan segeralah masukkan rasa senang di relung hati mereka.

Jika keuangan tidak menolongmu, maka setidaknya engkau bisa memberikan kata-kata yang baik, senyuman yang indah, dan anggukan kepala yang suci.

Ingatlah di hari lebaran, sedang engkau mengecup kedua orang tuamu, menyalami istri, saudara, anak-anak dan karib kerabatmu. Maka berkumpul semuanya di atas makanan enak, minuman yang segar. Ingatlah anak-anak yatim yang di pagi hari itu tidak merasakan kasih sayang sang ayah, para janda yang tidak mendapatkan senyuman suami, bapak-bapak dan ibu-ibu yang tidak mendapatkan anak, dan jamaah yang banyak dari saudaramu yang terusir secara zalim, tercabik-cabik. Maka apabila di hari lebaran mereka beruari air mata, menyetrika dengan api, dan tidak mendapat ketenangan.

Ingatlah di hari lebaran, engkau tinggal di tempat yang teduh, tempat tinggalmu yang luas, kasurmu yang empuk. Ingatlah saudara-saudaramu yang berkasurkan debu, berselimut khadhra, dan menderita di tempat terbuka.

Ingatlah bahwa ketika engkau mengobati luka mereka dan menutupi kebutuhan mereka sesungguhnya engkau menutupi kebutuhanmu dan mengobati luka mereka:

﴿ وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ [التوبة:71]،
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain.. (QS. at-Taubah:71)

﴿ وَمَا تُنفِقُواْ مِنْ خَيْرٍ فَلأنفُسِكُمْ [البقرة:272]،
Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya. (QS. at-Taubah 272)

مَنْ عَمِلَ صَالِحاً فَلِنَفْسِهِ
Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri (QS. Fashshilat :46)

من نفّس عن مؤمنٍ كربة من كرب الدنيا نفّس الله عنه كربة من كرب يوم القيامة، والله في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه
"Barangsiapa yang melapangkan kesusahan dari seorang mukmin dari kesusahan dunia niscaya Allah I melapangkan darinya kesusahan dari kesusahan hari kiamat. Allah I selalu menolong hamba selama hamba itu menolong saudaranya."

من لم يهتم بأمور المسلمين فليس منهم
"Barangsiapa yang mengurus perkara kaum muslimin maka ia bukan dari mereka."

مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم كمثل الجسد الواحد، إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالحمى والسهر.
"Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam kasih sayang, kecintaan mereka adalah bagaimana satu tubuh. Apabila satu anggota tubuh mengeluh niscaya semua tubuh ikut merasakan panas dan tidak bisa tidur."
Semoga Allah I memberi berkah untuk kaum muslimin di hari lebaran mereka, meneguhkan untuk mereka agama mereka yang Dia  ridha untuk mereka. Semoga shalawat dan salam selalu tercurah kepada nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya .

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...