04 Desember 2010

BALASAN BAGI IBU YANG BAIK


Dari Anas bin Malik r.a.: 
Seorang perempuan menemui 'A'isyah r.a.. kemudian 'A'isyah memberinya tiga buah kurma.
Lalu perempuan itu memberikan kurma kepada dua anaknya.. masing-masing satu buah kurma. Ia sendiri memegang sebuah kurma untuk dirinya.
Setelah kedua anak itu menghabiskan kurma masing-masing.. mereka-memandang kepada ibunya. Perempuan itu membelah kurma yang ada ditangannya dan membagikannya kepada kedua anaknya.
Kemudian Rasulullah Saw datang dan 'A'isyah memberitahukan hal tersebut kepadanya.. Rasulullah Saw. bersabda :
"Apa yang membuatmu kagum terhadap hal itu ? ALLAH telah merahmatinya karena kasih sayangnya kepada anak-anaknya."
(HR. Al-Bukhari)

Seorang ibu adalah lambang belas kasih.. pengorbanan dan kebesaran hati.. 
ibu menanggung sendiri semua beban sejak mengandung.. melahirkan.. menyusui hingga menyapih.
Kontribusi ibu selama periode ini - utamanya dalam mempertaruhkan nyawa pada situasi kritis - seperti kontribusi pejuang atau mujahid dijalan ALLAH.  Jika ibu meninggal dalam masa itu (melahirkan) ia memperoleh pahala seperti pahala orang yang mati syahid.

Seorang ibu dg segala perhatian dan kasih sayangnya.. selalu menginginkan anak-anaknya tumbuh menjadi pribadi yang saleh.. untuk itu ia menjaga dan mendidik mereka sesuai dg nilai-nilai Islam yang benar.
dengan cara seperti itu.. ibu seperti menanam sebatang pohon yang kuat dan baik ditaman Islam, menanamkan cinta jihad dan dakwah untuk Islam.

Seorang ibu menyuburkan tanaman Islam dalam jiwa anak-anaknya dengan membiasakan shalat.. mengaji.. puasa dan segala kebaikan dg penuh kasih sayang.. harapannya agar buah hatinya mempunyai akhlak yang luhur dan mulia.

Seorang ibu berusaha menjadikan dirinya suri teladan yang baik bagi anak-anaknya dalam kehidupan sehari-hari.

Seorang ibu akan bersabar dalam menghadapi segala ujian serta berteguh hati menjalankan tugas yang telah dianugerahkan dan diamanahkan ALLAH SWT kepadanya dengan tulus dan ikhlas...

Sebagai penghargaan atas peran besar dan kasih sayang ibu bagi kehidupan anak-anak.. ALLAH membalasnya dengan menempatkan nya sebagai sosok paling berhak mendapatkan perlakuan istimewa dari anak-anaknya.
ALLAH juga menjadikan surga berada dibawah telapak kakinya...

wallahu 'alam.

Sumber :     Keluarga Sakinah

19 November 2010

Kisah Nyata: Selalu Lolos dari Kecelakaan & Derajatnya Ditinggikan Allah


Berjalan menuju shalat berjamaah di masjid merupakan salah satu sarana memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Hal itu didasarkan pada firman Allah (lihat kitab Tuhfatu al-Ahwadzi bi Syarhi Jami’ at-Turmudzi, IX/104),
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)

Ini adalah kisah nyata dari daerah Bekasi, Jawa Barat.
Seorang lelaki bernama Haris (ketika ditanyai tidak mau memakai nama aslinya – Red.) adalah dahulunya seorang pemuda yang jarang sekali sholat berjamaah di masjid. Ia ke masjid hanya untuk sholat Jumat atau sholat di Hari Raya Islam.
Malah dia dulu hidup identik dengan julukan ‘Playboy’. Setiap tahun dia gonta-ganti pacar. Dia juga dahulu bermain musik (drummer). Tidak pula memperhatikan sunah Rasul. Padahal dia adalah anak Pak Haji dan Ketua Dewan Kemakmuran Masjid di perumahannya. Baru ketika dia kuliah, hidayah Allah menggiringnya untuk melakukan sholat Dzuhur berjamaah di masjid kampusnya.

Setelah selesai sholat, ada tausiah yang didengar Haris. Pemberi tausiyah itu menyebutkan hadits Rasulullah SAW: “Sesungguhnya sholat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya dan shalat Subuh. Sekiranya mereka mengetahui apa yang terkandung di dalamnya, niscaya mereka akan mendatangi keduanya sekalipun dengan merangkak.” (Shahih Muslim, V/160)

Sejak saat itulah Haris mulai memikirkan apa yang sebenarnya terkandung di dalamnya sampai-sampai Rasulullah bersabda manusia akan mendatanginya meskipun dengan merangkak. Haris pun mulai melaksanakan sholat Isya berjamaah di masjid malam harinya, dan dilanjutkan dengan Subuh berjamaah di masjid dekat rumahnya untuk mencoba merasakan apa yang sebenarnya dimaksud Nabi.

Selalu Lolos dari Kecelakaan
Haris saat itu masih kuliah di jurusan Sastra Inggris. Setiap kali setelah dia pulang kuliah, dia mengajar les privat bahasa Inggris baik ke anak-anak kecil maupun orang dewasa. Hampir lulus kuliah S1, dia sudah ditawarkan pekerjaan lewat telepon oleh sebuah perusahaan media untuk menjadi reporter.

Haris mulai merenungkan apakah ini yang dimaksud manfaat dari sholat Isya dan Subuh berjamaah di masjid, rezeki begitu mudah diraih tanpa susah-susah melamar sedangkan banyak temannya yang melamar ke mana-mana tapi tidak diterima.
Akhirnya Haris lulus kuliah dan sempat menjadi wartawan di perusahaan tersebut. Tetapi pekerjaan menjadi reporter sangat tidak mengenal waktu. Hari Sabtu dan Minggu harus siap-siap dipanggil kerja. Pulang selalu malam. Haris jadi jarang sholat Isya di masjid. Subuh-subuh harus sudah berangkat ke kantor kalau tidak mau telat. Sejak itu pula dia mulai meninggalkan kebiasaannya mendengarkan dan bermain musik, berpacaran, dsb. Semuanya begitu melelahkan dan tidak cocok untuk jiwa Haris yang terbiasa mengajar. Kalau sudah kelelahan, dia sering mengantuk di motor.

Beruntung Allah saat itu masih menjaganya walau Haris mulai labil dalam melaksanakan sholat berjamaah di masjid karena pekerjaannya itu. Allah sedang mengujinya. Harris pun keluar kerja agar tidak terlalu lelah, bisa berjamaah di masjid, dan berniat memulai usaha sendiri. Baru mau memulai usaha, lagi-lagi Allah sudah menjamin rizkinya sebelum dia berdagang.
Dia mendapat order menerjemahkan buku luar negeri dari sebuah penerbit yang hasilnya bisa membuat dia bertahan beberapa bulan sampai dia mendapat pekerjaaan tetap lainnya. Bekerja dari rumah membuat Haris makin rajin sholat berjamah di masjid. Dia mulai merasakan perubahan ke arah yang lebih baik dibanding dengan ketika dulu ia jarang sholat berjamaah di masjid.

Ditinggikan Derajatnya oleh Allah
Allah memuliakan orang yang mendatangi masjid. “Barangsiapa berwudhu di rumahnya kemudian dia mendatangi masjid, maka dia sebagai orang yang mengunjungi Allah, dan merupakan kewajiban bagi yang dikunjungi untuk memuliakan pengunjung-Nya.” (HR. Thabrani, VI/253, nomor 6139 dan 6145).
Haris tetap sabar dan tekun terhadap terjemahannya. Malah dia berpikir dan bersyukur masih diberi rezeki dan anugerah menerjemahkan buku seperti itu. Berkat kesabaran dan rasa syukurnya, Allah kembali memberinya pekerjaan tetap dalam waktu dekat. Kali ini dia bekerja sebagai guru di sebuah sekolah internasional, sebagai guru Bahasa Inggris. Lokasi kerja Haris cukup jauh dari rumahnya. Tapi dia menjalankannya dengan senang dan semangat, karena cocok dengan jiwanya. Dia juga masih bisa menjalankan sholat Isya dan Subuh berjamaah di masjid.
Haris mulai merasakan inilah yang dimaksud Allah lewat sabda Nabi tadi. Banyak manfaat yang terkandung di dalam sholat Isya dan Subuh berjamaah di masjid: Bagi Haris, mendapat royalti pahala karena mengajarkan ilmu-ilmunya adalah suatu balasan dari Allah yang sangat baik.
Meskipun bekerja dengan senang hati dan penuh semangat, tidak berarti Haris tidak pernah kelelahan. Karena lokasinya yang jauh, setiap kali pulang kerja Haris lagi-lagi selalu mengantuk di motor. Sudah lebih dari tiga kali dia hampir mengalami kecelakaan motor.

"Dan (dirikanlah pula solat Subuh). Sesungguhnya solat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat)". (QS Al Isra: 78 ).
Dia bercerita, kala itu, karena tertidur di motor, dia hampir menabrak pembatas antara jalan raya biasa dan jalur mau masuk ke tol. Beruntung Allah mengirimkan malaikat-Nya untuk membelokkan motornya ke jalan yang benar. Di waktu lain, dia juga pernah mengendarai motor sambil tidur dan mengarahkan motornya ke arah yang berlawanan. Untung kendaraan yang berlawanan tidak menabraknya dan Allah segera membangunkannya.

“… Dan seseorang yang berangkat ke masjid, dia akan selalu berada dalam jaminan Allah sehingga Dia mewafatkannya lalu memasukannya ke surga atau menyerahkan kepadanya pahala dan ghanimah yang diperolehnya. …” (Shahih Sunan Abi Dawud, II/473)

Kisah lainnya yang masih dia ingat adalah ketika dia tidak mengantuk, tapi dia malah ditabrak dari samping oleh pengendara motor yang arogan. Allah menjamin keselamatannya karena Haris melakukan sholat Subuh berjamaah di masjid pada hari itu. Dia tidak terjatuh sedikit pun melainkan penabraknya yang luka-luka.

Dari Jundab bin Abdullah ra., dia bercerita, Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa mengerjakan sholat subuh, maka dia akan selalu berada dalam jaminan Allah." (Syarhu an-Nawawi 'alaa Shahih Muslim, V/164).

Sekarang Haris sudah menjadi Wakil Kepala Sekolah di tempatnya bekerja. Saat Haris ditawarkan posisi menjadi Wakil Kepala Sekolah, umur Haris saat itu baru 24 tahun dan dia baru bekerja di situ dua tahun! Maha Besar Allah lagi Maha Penyayang.

Mari kita semua berdoa agar diberi hidayah oleh-Nya, diberi rizki dari-Nya, diberi kemudahan untuk melangkahkan kaki ke masjid, dan bisa mengajak orang lain untuk melaksanakan sholat berjamaah di masjid.
Nabi Nuh tidak mampu memberikan petunjuk kepada putranya, Kan’am; Ibrahim tidak kuasa memberikan hidayah dalam hati ayahnya; dan Rasulullah tidak sanggup memberikan hidayah kepada pamannya, Abu Thalib.

Maka tugas kita semua adalah memohon petunjuk kepada Allah.
Dia berfirman, “Maka mintalah hidayah kepada-Ku, niscaya Aku akan memberikan kalian hidayah.”

Siapa saja yang meminta hidayah kepada Allah, Dia akan memberinya hidayah. Hidayah ini meliputi hidayah ilmu dan hidayah taufik.

Berapa banyak waktu terbuang untuk bermain di depan komputer? Sedangkan kita sulit sekali meluangkan waktu beberapa menit saja untuk melangkahkan kaki ke masjid padahal melangkahkan kaki ke masjid satu langkahnya menghapus dosa dan langkah lainnya mengangkat derajat.

“Tidaklah seseorang bersuci lalu dia melakukannya dengan sebaik-baiknya kemudian dia berangkat menuju ke salah satu masjid melainkan Allah telah menetapkan baginya kebaikan bagi setiap langkah yang diayunkannya, dengannya Dia akan meninggikan dirinya satu derajat, serta menghapuskan darinya satu kesalahan…” (HR. Muslim, nomor 654)

Silakan dicopy-paste atau disebarluaskan. Mari kita buat artikel menginspirasi ini membuat orang-orang tergerak hatinya dan banyak orang mau sholat berjamaah di masjid.

Sumber:
http://indonesian.iloveallaah.com/kisah-nyata-selalu-lolos-dari-kecelakaan-derajatnya-ditinggikan-allah/

06 November 2010

Hikmah Di Balik "Wedhus Gembel"


Bencana datang silih berganti. Berupa banjir, gempa bumi, tanah longsor  hingga letusan gunung berapi. Bila dipandang dari sisi geologi, Indonesia memang merupakan negara yang rawan akan bencana. Menurut data, ada Sekitar 282 kabupaten di Indonesia atau setara dengan 2/3 wilayah Indonesia masuk dalam kategori rawan bencana alam.

Negri ini dilingkupi oleh cincin api atau ring of fire yang ditandai dengan adanya rangkaian pegunungan yang membentang dari Sumatera hingga kebagian timur, yakni Nusa Tenggara Timur dan Maluku, sebuah jalur rangkaian gunung api aktif di dunia.

Secara histografi, Indonesia merupakan wilayah langganan gempa bumi dan tsunami. Negri ini dikepung oleh lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik. Sewaktu-waktu jika lempeng ini bergeser patah menimbulkan gempa bumi. Selanjutnya jika terjadi tumbukan antar lempeng tektonik dapat menghasilkan tsunami, sebagaimana terjadi di Aceh dan Mentawai.

Akhir-akhir ini terjadi beberapa bencana yang menimpa saudara-saudara kita. Di Wasior, banjir bandang menelan banyak korban jiwa dan menghanyutkan rumah-rumah penduduk. Diikuti dengan musibah tsunami di Mentawai. Kemudian disusul meletusnya gunung merapi di Jawa Tengah. “Wedhus gembel” mengamuk, menerjang serta memanggang beberapa wilayah di kabupaten Sleman, Boyolali dan Magelang.

Pertanyaannya, apakah semua ini hanyalah sebuah fenomena alam semata yang dikarenakan letak wilayah Indonesia yang rawan terjadi bencana? Tentu saja tidak. Semua itu adalah atas kehendak Allah (Al-Jabbar). Meskipun secara geografis menjadi wilayah rawan bencana, jika Allah tidak berkehendak, maka bencana alam takkan mungkin terjadi. Dia-lah yang menguasai langit dan bumi beserta isinya. Dzat yang mengatur atau memerintah segala makhluk ciptaan-Nya sesuai dengan kehendak dan iradah-Nya.

Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. al-Hadid  : 22)

Ini merupakan bukti kebesaran Allah swt dan betapa kecilnya manusia.  Betapa kuasanya Allah atas segala sesuatu. Maka kita harus berusaha untuk mengambil hikmahnya. Mengevaluasi atas apa yang telah dilakukan selama ini.

Adzab, cobaan atau peringatan 

Bencana yang menimpa negri muslim terbesar di dunia ini merupakan bisa berupa adzab, cobaan atau peringatan dari Allah swt. Hal ini dikarenakan oleh ulah tangan-tangan manusia itu sendiri yang telah melanggar tuntunan Allah swt. Menyekutukan Allah, tidak mau sholat, tidak mau zakat, homo seksual, dll. Lebih-lebih yang merupakan kemungkaran terbesar yakni ketika negri ini mencampakkan hukum-hukum Allah swt (syariah Islam) dan memilih kukum sekuler buatan manusia.

Sebagaimana kata Allah: Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. (QS. al-Ankabut : 40)

Musibah adalah cobaan bagi orang-orang yang beriman sekaligus penebus kesalahan yang pernah dilakukan.
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun (seusngguhnya kami milik Allah dan sesunnguhnya kami sedang menuju kemabali kepada-Nya) Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-Baqarah : 155 -157)

Abu Hurairah r.a. berkata: "Ketika turun ayat 'man ya'mal suuan yujza bihi' (Siapa yang berbuat kesalahan akan mendapat balasannya (QS . An-Nisa: 123), kaum muslimin kelihatan dalam keadaan susah. Rasulullah Saw bersabda kepada mereka; 'Bidiklah dan dekat-dekatkan sasaran. Sesungguhnya dalam setiap musibah yang menimpa orang Islam, ada kaffarah sampai pun duri yang mengenainya dan kecelakaan yang menimpanya”. (HR. Muslim, at-Turmudzi, dan an-Nasai)

Kembali ke syariah-Nya 

Semoga semua bencana ini dikarenakan Allah (Ar-Rahim) masih menyayangi kita. Ibarat orang tua yang masih menyayangi anaknya, sudah semestinya ia akan selalu memperingatkan dan memberikan teguran kepada buah hatinya yang nakal, entah dengan jeweran atau apapun itu. Semoga Allah menampuni kita, dan semoga negri ini segera sadar untuk meninggalkan hukum-hukum kufur kemudian menggantinya dengan syariah Islam secara kaffah dalam bingkai Negara khilafah, niscaya Indonesia mendapat berkah. Amin.

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka menolak (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. (QS. Al-A’raf  : 96 – 99). 
Wallahu a'lam bi ash-shawab.

 By: Ali Mustofa
Disunting kembali oleh : Rudy Indrasakti

31 Oktober 2010

Enam Taubatnya Anggota Tubuh


oleh: Ali Akbar bin Agil*

MENJAGA hati merupakan pekerjaan berat. Butuh kesungguhan dalam menghadapi godaan yang datang secara bertubi-tubi yang terkadang membuat kita terkapar menyerah dengan keadaan yang ada. Padahal, hati laksana mahkota dalam jiwa.

Hati, sebagaimana diungkap oleh Syaikh Abdullah bin Alwi Al-Haddad, adalah raja seluruh angota tubuh. Hati merupakan sumber akidah, akhlaq, niat yang tercela maupun terpuji. “Seseorang tidak akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat kecuali sanggup menyucikan hatinya dari keburukan dan kehinaan serta menghiasinya dengan kebaikan dan keutamaan,” tulisnya.

Di sinilah, sekali lagi, pentingnya menata hati. Dalam diri kita, seperti menirukan sabda Nabi Muhamad SAW, “Ada segumpal daging. Jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh, itu adalah hati.” (HR. Bukhari-Muslim).

Supaya tidak terjerumus dalam kubangan maksiat yang membuahkan penyesalan tiada terperihkan, ada baiknya kita melakukan langkah-langkah berikut ini.

Pertama, jangan memulai berbuat maksiat.
Proses terjadinya maksiat diceritakan secara detail oleh Ibnu Qayyim. Katanya, “Lawanlah lintasan itu! Jika dibiarkan, ia akan menjadi fikrah (gagasan). Lawanlah fikrah itu! Jika tidak, ia akan menjadi syahwat. Perangilah syahwat itu! Jika tidak, ia akan menjadi `azimah (hasrat). Apabila ini juga tidak dilawan, ia akan berubah menjadi perbuatan. Dan jika perbuatan itu tidak Anda temukan lawannya maka ia akan menjadi kebiasaan, dan setelah itu suit bagimu meninggalkannya.”

Sekecil apapun peluang maksiat, tutup segera. Membuka hati untuk maksiat sama saja mempersilakan diri kita dijarah oleh setan dan dosa. Sebuah maksiat akan melahirkan maksiat berikutnya. Demikian seterusnya, lambat laun ia menjadi sebuah tren dalam denyut kehidupan seseorang. Sehingga membutuhkan energi yang luar biasa untuk menghentikan luapan maksiat tersebut.

Kedua, menjernihkan hati
Hati yang jernih membuat kita lebih sensitif terhadap maksiat. Menjernihkan hati diawali dengan zuhud. Hidup zuhud bukan berarti lari dari dunia, menjauhi manusia. Tapi menjalani pola hidup dengan kebersahajaan, kesejajaran, tidak berlebihan, proposional, dan sesuai kebutuhan bukan yang selaras keinginan.

Ibrahim bin Adham ditanya oleh seseorang, “Bagaimana engkau mendapatkan zuhud?” Ibrahim menjawab, “Dengan tiga perkara: 
(1) Saya melihat keadaan kubur yang mengerikan sedang belum kudapati pelipur 
(2) Saya melihat sebuah jalan yang panjang sementara belum kumiliki bekal 
(3) Dan saya melihat Allah yang Maha Perkasa mengadili, padahal saya belum memiliki hujjah (argumentasi).”
Kejernihan hati menjadi sumber ketenteraman hidup. Tidak gusar dan gelisah atas apa yang tidak ada serta selalu bersyukur dengan apa yang ada. Sebaliknya, kegersangan hati sebagai akibat ketidakmampuan mengendalikan diri, membuat gerakan dan nafas tersenggal-senggal, terseok-seok tak tentu arah.

Ketiga
, bertaubat. 
Tidak ada manusia suci selain para Nabi dan Rasul. Jika suatu saat kita melakukan maksiat baik disengaja ataupun tidak, solusinya adalah dengan bertaubat, memohon ampun kepada Allah. Inilah cara ketiga.

Taubat dari segala tindak tanduk maksiat, mulai anggota tubuh hingga ke dalam hati. Dzun Nun Al-Misri menjelaskan cara taubat secara menyeluruh. Ia berkata, “Setiap anggota tubuh manusia ada ‘jatah’ taubatnya: 
(1) Taubatnya hati dengan berniat meninggalkan hal-hal yang dilarang 
(2) Taubatnya mata dengan menundukkan pandangan dari hal-hal yang haram 
(3) Taubatnya kedua tangan dengan meninggalkan penggunaan sesuatu yang bukan haknya 
(4) Taubatnya kedua kaki dengan meninggalkan usaha berjalan ke tempat-tempat yang membuat   lalai kepada Allah 
(5) Taubatnya pendengaran dengan tidak menyimak kebatilan 
(6) Taubatnya kemaluan dengan berhenti berbuat keji.”

Tiga cara tersebut merupakan upaya mengorganisasikan kembali hatiku, hatimu, dan hati kita yang centang-perenang. Semoga.

Penulis adalah Pengajar di Ponpes. Darut Tauhid, Malang.  
Disunting kembali oleh Rudy Indrasakti

Tujuh Kiat Tinggalkan Maksiat


Bahkan di saat istirahat dan di tempat yang kita anggap aman dari gangguan mata, masih saja ada kesempatan bermaksiat
“Tiada hari tanpa maksiat”, kata ini mungkin lebih tepat untuk suasana hidup di zaman ini. Di kantor, di kampus, di jalan, bahkan di rumah sendiri, fasilitas maksiat tersedia.

Di kantor, godaan maksiat ada di mana-mana. Teman, orang luar, bahkan diri sendiri. Jika tidak karena iman, bukan mustahil akan mudah bermaksiat di hadapan Allah baik dengan terang-terangan atau tersembunyi. Kesempatan terbuka luas. Jadi kasis kita bisa memanipulasi uang, jadi pemasaran kita bisa memanipulasi dan korupsi waktu.  

Televisi kita 24 jam menyediakan tontonan penuh fitnah dan umbar aurat. Bahkan di saat istirahat dan di tempat yang kita anggap aman dari gangguan mata, masih saja ada kesempatan bermaksiat.

Memang, meninggalkan maksiat adalah pekerjaan yang tidak ringan. Ia lebih berat daripada mengerjakan taat (menjalankan yang diperintah oleh Allah dan Rasul-Nya), karena mengerjakan taat disukai oleh setiap orang, tetapi meninggalkan syahwat (maksiat) hanya dapat dilaksanakan oleh para siddiqin (orang-orang yang benar, orang-orang yang terbimbing hatinya).

Terkait dengan hal tersebut Rasulullah Sallallahu aalaihi wa sallam. bersabda: "Orang yang berhijrah dengan sebenarnya ialah orang yang berhijrah dari kejahatan. Dan mujahid yang sebenarnya ialah orang yang memerangi hawa nafsunya."

Apabila seseorang menjalankan sesuatu tindak maksiat, maka sebenarnya ia melakukan maksiat itu dengan menggunakan anggota badannya. Orang yang seperti ini sejatinya telah menyalahgunakan nikmat anggota tubuh  yang telah dianugerahkan Allah pada dirinya. Dalam bahasa lain dapat dikatakan, ia telah berkhianat atas amanah yang telah diberikan kepadanya.

Setiap kita berkuasa penuh atas anggota tubuh kita, pikiran dan jiwa kita. Akan tetapi, terkadang, kita begitu susah menggendalikan apa yang menjadi ‘milik kita’ itu. Tangan, mata, kaki dan anggota tubuh yang lain, kerap bergerak diluar kendali diri, yang tak jarang bertentangan dengan idealisme atau nilai-nilai keyakinan  yang kita anut dan kita yakini. Padahal, rekuk relung kalbu  kita bersaksi bahwa semua anggota tubuh itu, kelak  akan menjadi saksi atas segala perbuatan kita di Padang Mahsyar.

Firman Allah SWT : "Pada hari ini (Kiamat) Kami tutup mulut-mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksian lah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka lakukan (di dunia dahulu)." (Yassin:  65).

Bagaimana agar kita selamat dari maksiat?

Di bawah ini beberapa ikhtiar, yang bila dijalankan secara sungguh-sungguh, insya Allah membawa faedah.

1. Menjaga Mata

Peliharalah mata dari menyaksikan pemandangan yang diharamkan oleh Allah SWT seperti  melihat perempuan yang bukan mahram. Hindari, atau minimal kurangi-- untuk pelan-pelan tinggalkan sejauh-jauhnya--  melihat gambar-gambar yang dapat membangkitkan hawa nafsu. Termasuk menjaga mata, janganlah memandang orang lain dengan pandangan yang rendah(sebelah mata/menghina) dan melihat keaiban orang lain.

2. Menjaga Telinga

Menjaga telinga dari mendengar perkataan yang tidak berguna seperti: ungkapan-ungkapan mesum/kotor/jahat. Poin kesatu dan kedua ini menjadi tidak mudah di saat di mana gosip telah menjadi komuditas ekonomi. Gosip telah menjadi kejahatan berjamaah yang dianggap hal yang lumrah dilakukan, dan wajib ditonton dan disimak. Kehadirannya disokong dana yang tidak sedikit, dimanajeri, ada penulis skenarionya, ada kepala produksinya, ada reporternya dan seterusnya.

Rasulullah S.A.W. bersabda : "Sesungguhnya orang yang mendengar (seseorang yang mengumpat orang lain) adalah bersekutu (di dalam dosa)dengan orang yang berkata itu. Dan dia juga dikira salah seorang daripada dua orang yang mengumpat."

Oleh karenanya, menjaga mata-telinga adalah pekerjaan yang memerlukan energi dan kesungguhan yang kuat dan gigih.

3.Menjaga Lidah

Lidah adalah anggota tubuh tanpa tulang yang kerap mengantarkan pada perkara-perkara besar. Kehancuran rumah tangga, pertengkaran sahabat karib, hingga peperangan antar negara, dapat dipicu dari sepotong daging kecil di celah mulut kita ini.

Rasulullah Saw. bersabda : “Kebanyakan dosa anak Adam karena lidahnya.” (Riwayat Athabrani dan Al Baihaqi)

Jagalah lidah dari perkara-perkara seperti berbohong, ingkar janji, mengumpat, bertengkar / berdebat / membantah perkataan orang lain, memuji diri sendiri, melaknat(mncela) makhluk Allah, mendoakan celaka bagi orang lain dan bergurau( yang mengandung memperolok atau mengejek) orang lain.

4. Menjaga Perut

Yang hendaknya selalu di ingat:  perut kita bukan tong sampah! Input yang masuk ke dalam perut akan berpengaruh langsung/tidak langsung terhadap tingkah laku/sikap/tindakan kita. Karenanya, peliharalah perut dari makanan yang haram atau yang syubahat. Sekalipun halal, hindari memakannya secara berlebihan. Sebab hal itu akan menumpulkan pikiran dan hati nurani. Obesitas (kelebihan berat badan) adalah penyakit modern sebagai akibat lain dari tidak terkontrolnya urusan perut. 

5. Menjaga Kemaluan

Kendalikan sekuat daya dorongan melakukan apa-apa yang diharam kan oleh Allah SWT. Firman Allah-Nya:"Dan mereka yang selalu menjaga kemaluan mereka, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau apa-apa yang mereka miliki (daripada hamba jariah) maka mereka tidak tercela." (Al Mukminun:  5-6)

6.Menjaga Dua Tangan

Kendalikan kedua tangan dari melukai seseorang (kecuali dengan cara hak seperti berperang, atau melakukan balasan yang setimpal). Katakan “stop”, pada tangan, ketika akan bertindak sesuatu yang diharamkan, atau menyakiti makhluk Allah, atau menulis sesuatu yang diharamkan atau menyakiti perasaan orang lain.

7.Menjaga Dua Kaki

Memelihara kedua kaki dari berjalan ke tempat yang diharamkan atau berjalan menuju kelompok orang atau penguasa yang zalim tanpa ada alasan darurat karena sikap dan tindakan itu dianggap menghormati  kezaliman mereka, sedangkan Allah menyuruh kita berpaling dari orang yang zalim.

Firman Allah SWT. : "Dan jangan kamu cenderung hati kepada orang yang zalim, nanti kamu akan disentuh oleh api neraka." (Hud: 113)

Pintu-pintu bagi masuknya maksiat terbuka lebar pada ketujuh anggota tubuh di atas. Pun kunci-kuncinya ada dalam genggaman tangan kita untuk membendungnya. Jadi, semua kembali kepada manusianya. Tentu hamba Allah yang cerdik, adalah mereka yang  mempergunakan amanah tubuh untuk senantiasa berjalan di atas rel keridhaan-Nya.

Akhirul kalam, ada sebuah hadits Nabi mengatakan, “Barangsiapa meninggalkan maksiat terhadap Allah karena takut kepada Allah, maka ia akan mendapatkan keridhaan-Nya.” (Riwayat Abu Ya’li). Nah, bagaimana dengan kita?  [Ali Athwa]

 

17 Oktober 2010

Pengaruh Teman Bergaul Yang Baik


Teman bergaul dan lingkungan yang Islami, sungguh sangat mendukung seseorang menjadi lebih baik dan bisa terus istiqomah. Sebelumnya bisa jadi malas-malasan. Namun karena melihat temannya tidak sering tidur pagi, ia pun rajin. Sebelumnya menyentuh al Qur’an pun tidak. Namun karena melihat temannya begitu rajin tilawah Al Qur’an, ia pun tertular rajinnya.
Perintah Agar Bergaul dengan Orang-Orang yang Sholih
Allah menyatakan dalam Al Qur'an bahwa salah satu sebab utama yang membantu menguatkan iman para shahabat Nabi adalah keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah mereka. Allah Ta’ala berfirman,
وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ آَيَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
"Bagaimana mungkin (tidak mungkin) kalian menjadi kafir, sedangkan ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan Rasul-Nyapun berada ditengah-tengah kalian? Dan barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya dia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus." (QS. Ali 'Imran: 101).
Allah juga memerintahkan agar selalu bersama dengan orang-orang yang baik. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar(jujur)." (QS. At Taubah: 119).
Berteman dengan Pemilik Minyak Misk
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita agar bersahabat dengan orang yang dapat memberikan kebaikan dan sering menasehati kita.
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari no. 2101, dari Abu Musa)
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Hadits ini menunjukkan larangan berteman dengan orang-orang yang dapat merusak agama maupun dunia kita. Dan hadits ini juga menunjukkan dorongan agar bergaul dengan orang-orang yang dapat memberikan manfaat dalam agama dan dunia.”[1]
Memandangnya Saja Sudah Membuat Hati Tenang
Para ulama pun memiliki nasehat agar kita selalu dekat dengan orang sholih.
Al Fudhail bin ‘Iyadh berkata,
نَظْرُ المُؤْمِنِ إِلَى المُؤْمِنِ يَجْلُو القَلْبَ
Pandangan seorang mukmin kepada mukmin yang lain akan mengilapkan hati.”[2] Maksud beliau adalah dengan hanya memandang orang sholih, hati seseorang bisa kembali tegar. Oleh karenanya, jika orang-orang sholih dahulu kurang semangat dan tidak tegar dalam ibadah, mereka pun mendatangi orang-orang sholih lainnya.
‘Abdullah bin Al Mubarok mengatakan, “Jika kami memandang Fudhail bin ‘Iyadh, kami akan semakin sedih dan merasa diri penuh kekurangan.”
Ja’far bin Sulaiman mengatakan, “Jika hati ini ternoda, maka kami segera pergi menuju Muhammad bin Waasi’.”[3]
Ibnul Qayyim mengisahkan, “Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan gundah gulana atau muncul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk atau ketika kami merasakan sempit dalam menjalani hidup, kami segera mendatangi Ibnu Taimiyah untuk meminta nasehat. Maka dengan hanya memandang wajah beliau dan mendengarkan nasehat beliau serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang”.[4]
Lihatlah Siapa Teman Karibmu!
Rasulullah shallallahu ‘alaihi  wa sallam bersabda,
الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian”. (HR. Abu Daud no. 4833, Tirmidzi no. 2378, Ahmad 2/344, dari Abu Hurairah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Shohihul Jaami’ 3545).

Al Ghozali rahimahullah mengatakan, “Bersahabat dan bergaul dengan orang-orang yang pelit, akan mengakibatkan kita tertular pelitnya. Sedangkan bersahabat dengan orang yang zuhud, membuat kita juga ikut zuhud dalam masalah dunia. Karena memang asalnya seseorang akan mencontoh teman dekatnya.”[5]
Oleh karena itu, pandai-pandailah memilih teman bergaul. Jauhilah teman bergaul yang jelek jika tidak mampu merubah mereka. Jangan terhanyut dengan pergaulan yang malas-malasan dan penuh kejelekan. Banyak sekali yang menjadi baik karena pengaruh lingkungan yang baik. Yang sebelumnya malas shalat atau malas shalat jama’ah, akhirnya mulai rajin. Sebaliknya, banyak yang menjadi rusak pula karena lingkungan yang jelek.
Semoga Allah mudahkan dan beri taufik untuk terus istiqomah dalam agama ini.

Disusun di Sakan 27, KSU, Riyadh, KSA, pada 26 Syawal 1431 H (4/10/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal



[1] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 4/324, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379
[2] Siyar A’lam An Nubala’, 8/435, Mawqi’ Ya’sub.
[3] Ta’thirul Anfas min Haditsil Ikhlas,  Sayyid bin Husain Al ‘Afani, hal. 466, Darul ‘Affani, cetakan pertama, tahun 1421 H
[4] Lihat Shahih Al Wabilush Shoyyib, antara hal. 91-96, Dar Ibnul Jauziy
[5] Tuhfatul Ahwadzi, Abul ‘Ala Al Mubarakfuri, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut, 7/42

10 September 2010

PUASA SYAWAL

 

Hukum Puasa 6 Hari di Bulan Syawal

Dalil tentang Puasa Syawal

عن أبي أيوب رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : " من صام رمضان وأتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر " (رواه مسلم وأبو داود والترمذي والنسائي وابن ماجه).

Dari Abu Ayyub radhiyallahu anhu:
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Siapa yang berpuasa Ramadhan dan melanjutkannya dengan 6 hari pada Syawal, maka itulah puasa seumur hidup'." [Riwayat Muslim 1984, Ahmad 5/417, Abu Dawud 2433, At-Tirmidzi 1164]
 
Hukum Puasa Syawal 

Hukumnya adalah sunnah: "Ini adalah hadits shahih yang menunjukkan bahwa berpuasa 6 hari pada Syawal adalah sunnah. Asy-Syafi'i, Ahmad dan banyak ulama terkemuka mengikutinya. Tidaklah benar untuk menolak hadits ini dengan alasan-alasan yang dikemukakan beberapa ulama dalam memakruhkan puasa ini, seperti; khawatir orang yang tidak tahu menganggap ini bagian dari Ramadhan, atau khawatir manusia akan menganggap ini wajib, atau karena dia tidak mendengar bahwa ulama salaf biasa berpuasa dalam Syawal, karena semua ini adalah perkiraan-perkiraan, yang tidak bisa digunakan untuk menolak Sunnah yang shahih. Jika sesuatu telah diketahui, maka menjadi bukti bagi yang tidak mengetahui."
[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/389]

Hal-hal yang berkaitan dengannya adalah:

1. Tidak harus dilaksanakan berurutan.

"Hari-hari ini (berpuasa syawal-) tidak harus dilakukan langsung setelah ramadhan. Boleh melakukannya satu hari atau lebih setelah 'Id, dan mereka boleh menjalankannya secara berurutan atau terpisah selama bulan Syawal, apapun yang lebih mudah bagi seseorang. ... dan ini (hukumnya-) tidaklah wajib, melainkan sunnah."
[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/391]

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:

"Shahabat-shahabat kami berkata: adalah mustahab untuk berpuasa 6 hari Syawal. Dari hadits ini mereka berkata: Sunnah mustahabah melakukannya secara berurutan pada awal-awal Syawal, tapi jika seseorang memisahkannya atau menunda pelaksanaannya hingga akhir Syawal, ini juga diperbolehkan, karena dia masih berada pada makna umum dari hadits tersebut. Kami tidak berbeda pendapat mengenai masalah ini dan inilah juga pendapat Ahmad dan Abu Dawud." [Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab]

Bagaimanapun juga bersegera adalah lebih baik: Berkata Musa: 'Itulah mereka telah menyusul aku. Dan aku bersegera kepada-Mu, Ya Rabbi, supaya Engkau ridho kepadaku. [QS Thoha: 84]

2. Tidak boleh dilakukan jika masih tertinggal dalam Ramadhan 

"Jika seseorang tertinggal beberapa hari dalam Ramadhan, dia harus berpuasa terlebih dahulu, lalu baru boleh melanjutkannya dengan 6 hari puasa Syawal, karena dia tidak bisa melanjutkan puasa Ramadhan dengan 6 hari puasa Syawal, kecuali dia telah menyempurnakan Ramadhan-nya terlebih dahulu."
[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/392]

Tanya : Bagaimana kedudukan orang yang berpuasa enam hari di bulan syawal padahal punya qadla(mengganti) Ramadhan ? 

Jawab : Dasar puasa enam hari syawal adalah hadits berikut

"Barangsiapa berpuasa Ramadhan lalu mengikutinya dengan enam hari Syawal maka ia laksana mengerjakan puasa satu tahun."
Jika seseorang punya kewajiban qadla puasa lalu berpuasa enam hari padahal ia punya kewajiban qadla enam hari maka puasa syawalnya tak berpahala kecuali telah mengqadla ramadlannya (Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin)

Hukum mengqadha enam hari puasa Syawal 

Pertanyaan :

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Seorang wanita sudah terbiasa menjalankan puasa enam hari di bulan Syawal setiap tahun, pada suatu tahun ia mengalami nifas karena melahirkan pada permulaan Ramadhan dan belum mendapat kesucian dari nifasnya itu kecuali setelah habisnya bulan Ramadhan, setelah mendapat kesucian ia mengqadha puasa Ramadhan. Apakah diharuskan baginya untuk mengqadha puasa Syawal yang enam hari itu setelah mengqadha puasa Ramadhan walau puasa Syawal itu dikerjakan bukan pada bulan Syawal ? Ataukah puasa Syawal itu tidak harus diqadha kecuali mengqadha puasa Ramadhan saja dan apakah puasa enam hari Syawal diharuskan terus menerus atau tidak ? 

Jawaban :

Puasa enam hari di bulan Syawal, sunat hukumnya dan bukan wajib berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan kemudian disusul dengan puasa enam hari di bulan Syawal maka puasanya itu bagaikan puasa sepanjang tahun" [Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya]

Hadits ini menunjukkan bahwa puasa enam hari itu boleh dilakukan secara berurutan ataupun tidak berurutan, karena ungkapan hadits itu bersifat mutlak, akan tetapi bersegera melaksanakan puasa enam hari itu adalah lebih utama berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya) : "..Dan aku bersegera kepada-Mu. Ya Rabbku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku)" [Thaha : 84]

Juga berdasarakan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah yang menunjukkan kutamaan bersegera dan berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan. Tidak diwajibkan untuk melaksanakan puasa Syawal secara terus menerus akan tetapi hal itu adalah lebih utama berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya) : "Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus dikerjakan walaupun sedikit"
Tidak disyari'atkan untuk mengqadha puasa Syawal setelah habis bulan Syawal, karena puasa tersebut adalah puasa sunnat, baik puasa itu terlewat dengan atau tanpa udzur.

Mengqadha enam hari puasa Ramadhan di bulan Syawal, apakah mendapat pahala puasa Syawal enam hari

Pertanyaan

Syaikh Abduillah bin Jibrin ditanya : Jika seorang wanita berpuasa enam hari di bulan Syawal untuk mengqadha puasa Ramadhan, apakah ia mendapat pahala puasa enam hari Syawal ?

Jawaban

Disebutkan dalam riwayat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda (yang artinya) : "Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari bulan Syawal maka seakan-akan ia berpuasa setahun"

Hadits ini menunjukkan bahwa diwajibkannya menyempurnakan puasa Ramadhan yang merupakan puasa wajib kemudian ditambah dengan puasa enam hari di bulan Syawal yang merupakan puasa sunnah untuk mendapatkan pahala puasa setahun. Dalam hadits lain disebutkan (yang artinya) : "Puasa Ramadhan sama dengan sepuluh bulan dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan dua bulan"

Yang berarti bahwa satu kebaikan mendapat sepuluh kebaikan, maka berdasarkan hadits ini barangsiapa yang tidak menyempurnakan puasa Ramadhan dikarenakan sakit, atau karena perjalanan atau karena haidh, atau karena nifas maka hendaknya ia menyempurnakan puasa Ramadhan itu dengan mendahulukan qadhanya dari pada puasa sunnat, termasuk puasa enam hari Syawal atau puasa sunat lainnya. Jika telah menyempurnakan qadha puasa Ramadhan, baru disyariatkan untuk melaksanakan puasa enam hari Syawal agar bisa mendapatkan pahala atau kebaikan yang dimaksud. Dengan demikian puasa qadha yang ia lakukan itu tidak bersetatus sebagai puasa sunnat Syawal.

Apakah suami berhak untuk melarang istrinya berpuasa Syawal

Pertanyaan

Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya : Apakah saya berhak untuk melarang istri saya jika ia hendak melakukan puasa sunat seperti puasa enam hari Syawal ? Dan apakah perbuatan saya itu berdosa ?

Jawaban

Ada nash yang melarang seorang wanita untuk berpuasa sunat saat suaminya hadir di sisinya (tidak berpergian/safar) kecuali dengan izin suaminya, hal ini untuk tidak menghalangi kebutuhan biologisnya. Dan seandainya wanita itu berpuasa tanpa seizin suaminya maka boleh bagi suaminya untuk membatalkan puasa istrinya itu jika suaminyta ingin mencampurinya. Jika suaminya itu tidak membutuhkan hajat biologis kepada istrinya, maka makruh hukumnya bagi sang suami untuk melarang istrinya berpuasa jika puasa itu tidak membahayakan diri istrinya atau menyulitkan istrinya dalam mengasuh atau menyusui anaknya, baik itu berupa puasa Syawal yang enam hari itu ataupun puasa-puasa sunnat lainnya.

Hukum puasa sunnah bagi wanita bersuami

Pertanyaan

Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya : Bagaimanakah hukum puasa sunat bagi wanita yang telah bersuami ?

Jawaban

Tidak boleh bagi wanita untuk berpuasa sunat jika suaminya hadir (tidak musafir) kecuali dengan seizinnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : "Tidak halal bagi seorang wanita unruk berpuasa saat suminya bersamanya kecuali dengan seizinnya" dalam riwayat lain disebutkan : "kecuali puasa Ramadhan"

Adapun jika sang suami memperkenankannya untuk berpuasa sunat, atau suaminya sedang tidak hadir (bepergian), atau wanita itu tidak bersuami, maka dibolehkan baginya menjalankan puasa sunat, terutama pada hari-hari yang dianjurkan untuk berpuasa sunat yaitu : Puasa hari Senin dan Kamis, puasa tiga hari dalam setiap bulan, puasa enam hari di bulan Syawal, puasa pada sepuluh hari di bulan Dzulhijjah dan di hari 'Arafah, puasa 'Asyura serta puasa sehari sebelum atau setelahnya.

(Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita Muslimah, Amin bin Yahya Al-Wazan)

Sumber : www.salafy.or.id

مقتبسة من كتاب : فتاوى الجامعة للمرأة المسلمة للشيخ أمين بن يحيى الوزن
(Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita Muslimah, Amin bin Yahya Al-Wazan)

 

LEBARAN



DI ANTARA PENGERTIAN LEBARAN

Segala puji bagi Allah I yang menyempurnakan agama untuk kita, menyempurnakan nikmat atas kita, meridhai Islam sebagai agama kita. Shalawat dan salam semoga terus tercurah kepada nikmat yang diberikan dan rahmat yang dihadiahkan, yaitu Nabi kita Muhammad bin Abdullah r, keluarga, para sahabat, dan orang yang setia kepadanya. Amma ba'du:
Sesungguhnya lebaran merupakan salah satu penampakan  dan syi'ar agama  yang diagungkan, yang mengandung hukum yang besar, pengertian yang besar, rahasia  yang indah yang tidak diketahui semua umat dalam berbagai hari besarnya.

Ied dalam pengertian agama adalah bersyukur kepada Allah I atas kesempurnaan ibadah yang tidak hanya diucapkan seorang mukmin dengan lisannya, akan tetapi bergelora dalam batinnya sebagai bentuk ridha dan tenang, nampak pada lahirnya karena senang dan dengan muka berseri, membuka di antara jiwa orang-orang beriman dengan muka cerah dan akrab, dan menghapus jarak di antara orang-orang kaya dan orang-orang miskin.

Ied dalam pengertian kemanusiaan adalah hari bertemunya kekuatan orang kaya dan kelemahan orang miskin di atas cinta, kasih sayang dan keadilan dari wahyu langit yang berjudul: zakat, ihsan, dan lapang dada.
Ied nampak pada orang kaya, maka ia melupakan ketergantungannya pada harta, turun dari ketinggiannya seraya merendahkan diri kepada manusia dan siap menerima kebenaran, mengingat bahwa semua orang yang ada di sisinya adalah para saudara dan penolongnya, maka ia menghapus kesalahan setahun dengan ihsan satu hari.

Ied nampak pada orang fakir, maka ia membuang sakit hatinya, naik dari ufuk yang tinggi, melupakan kesusahan dan kepayahan selama satu tahun, keceriaan di hari lebaran menghapuskan bekas kedengkian dan rasa jemu dari dirinya, dan lari di sisinya rasa putus asa di saat menangnya dorongan harapan.
Ied (lebaran) dalam pengertian kejiwaan adalah garis pemisah di antara ikatan yang jiwa tunduk baginya dan anggota tubuh merasa tenang kepadanya, dan d kebebasan yang tanpa batas untuk memuaskan hawa nafsunya.

Ied dalam pengertian waktu adalah bagian dari masa yang ditentukan untuk melupakan kesedihan dan mengesampingkan beban, serta istirahat (rileks)nya kekuatan yang capek dalam kehidupan.
Ied dalam pengertian sosial adalah hari anak-anak yang melimpah rasa bahagia pada mereka, hari para fakir miskin yang mendapatkan kemudahan dan keluasan rizqi, hari seperti rahim yang mengumpulkannya di atas kebajikan dan menyambung silaturrahim, hari kaum muslimin yang menyatukan mereka di atas saling memaafkan dan mengunjungi, hari handai taulan yang diperbaharui pada mereka ikatan kecintaan, hari jiwa yang mulia yang melupakan tekanannya. Maka berkumpul setelah berpisah, menjadi bersih setelah kotor, terbuka setelah sebelumnya mengerut.

Dalam semua merupakan renovasi (rekonstruksi) ikatan sosial yang terkuat dalam bentuk rasa cinta dan persaudaraan.

Dan padanya ada rasa akrab yang merasuk kalbu, rasa bahagia dalam jiwa, dan rasa lapang yang dirasakan tubuh.

Dan padanya ada maksud sosial juga, yaitu mengingatkan berita masyarakat terhadap hak orang-orang yang lemah dan papa, sehingga rasa bahagia dirasakan setiap rumah dan kenikmatan merata di setiap keluarga.
Kepada pengertian sosial ini disyari'atkan zakat fitrah di hari raya iedul fitri atau pada hari-harinya yang diberikan tangan-tangan yang baik di jalur-jalur yang baik. Maka tidak bersinar matahari lebaran kecuali senyuman terlihat di setiap bibir dan rasa bahagia meliputi setiap hati.

Di hari lebaran, orang-orang yang tidak beruntung merasakan angin keberuntungan, orang-orang yang terjepit merasakan udara keluasan. Dan padanya orang-orang yang papa merasakan rizqi yang baik dan orang-orang yang mampu menikmati kesenangannya.

Di hari lebaran, jiwa yang keras mengalirkan arahnya kepada kebaikan dan menggerakkan jiwa yang kering kepada kebaikan.

Di hari lebaran, ada hukum-hukum yang menekan hawa nafsu, di belakangnya ada hikmah yang memberikan gizi kepada akal, dari bawahnya ada rahasia yang membersihkan jiwa, di hadapannya ada kenangan yang membuahkan untuk mengikuti kebenaran dan kebaikan, dalam isinya ada pelajaran yang mengungkapkan hakikat, timbangan yang menegakkan keadilan di antara golongan yang berbeda di antara manusia, tujuan yang benar dalam menjaga persatuan, memperbaiki perkara, pelajaran praktik yang tinggi dalam pengorbanan, mengutamakan orang lain dan kecintaan.

Di hari lebaran, nampak keutamaan ikhlas yang meliputi semua orang, orang-orang saling memberikan hadiah hati yang ikhlas kepada yang lain. Lebaran seolah-olah adalah ruh satu keluarga dalam semua umat.
Di hari lebaran, ruh tetangga menjadi luas, sehingga kembali kota yang besar dan seolah-olah penduduknya tinggal di satu rumah yang terwujud padanya persaudaraan dalam arti pengamalan.

Di hari lebaran, bertolak tabiat di atas fitrahnya dan nampak rasa simpati belas kasihan di atas hakikatnya.
Lebaran dalam Islam merupakan ketenangan dan kedamaian, mengagungkan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa, dan jauh dari sebab-sebab kebinasaan dan masuk neraka.

Dan bersama semua itu, lebaran merupakan lapangan berlomba menuju kebaikan, peluang bersaing dalam kemuliaan.

Di antara bukti yang menunjukkan keagungan lebaran ini, bahwa Islam menyertakan setiap lebaran dari dua lebaran yang agung dengan salah satu syi'arnya yang umum, yang mempunyai kedudukan besar dalam rohani, memiliki peranan agung dalam masyarakat, baginya ada angin yang bertiup dengan kebaikan, kebajikan dan kasih sayang. Baginya ada pengaruh yang dalam pada pendidikan pribadi dan jamaah, yang umat tidak pantas ada serta bermanfaat keberadaannya kecuali dengannya. Dua syi'ar tersebut adalah bulan Ramadhan yang datangnya iedul fitri merupakan penutupnya yang indah, ungkapan syukur atas kesempurnaannya dan haji yang mana iedul adha merupakan bagian dari hari-harinya dan waktu yang mengisyaratkan keagungan hukumnya.

Maka inilah ikatan Ilahi di antara dua lebaran dan di antara dua syi'ar ini sudah cukup dalam memutuskan atasnya, membuka hakikat padanya. Dan keduanya merupakan dua hari besar agama dengan sunnah-sunnah yang disyari'atkan padanya. Bahkan sampai hal-hal yang dianjurkan padanya, yang secara lahir hanyalah duniawi semata seperti memakai yang baik, berpakaian, memakai minyak wangi, memberi infak yang banyak terhadap keluarga, menjamu tamu, bersenang-senang, bermain-main yang tidak keluar kepada batas berlebih-lebihan, mencari yang mahal, dan kebanggaan yang tercela. Semua perkara yang dibolehkan ini termasuk dalam taat apabila baik niatnya. Maka di antara keindahan Islam bahwa yang dibolehkan, apabila baik niat padanya dan untuk merealisasikan hikmah Allah I dengannya atau mensyukuri nikmat-Nya niscaya berubah menjadi ibadah, sebagaimana sabda Nabi r: "Sehingga sesuap (nasi) yang engkau berikan di mulut istrimu."

Kedua sisi lebaran dalam makna Islam adalah keindahan, kebesaran, kesempurnaan, ikatan dan hubungan, rasa bahagia yang menyentuh kalbu, ketenangan yang menyertai jiwa, dan meninggalkan kesedihan dan sakit hati.

Rahasianya bukan pada hari lebaran yang harinya dimulai dengan terbitnya matahari dan berakhir dengan tenggelamnya. Sesungguhnya rahasianya adalah pada amal perbuatan yang dibangun pada hari itu, yang meliputinya berupa kebaikan, yang meliputi jiwa yang disiapkan untuk kebaikan padanya berupa ketinggian dan kesempurnaan. Maka lebaran sesungguhnya adalah pengertian yang ada pada hari lebaran itu, bukan harinya.

Inilah sebagian pengertian ied sebagaimana yang kita pahami dari Islam, dan sebagaimana direalisasikan oleh kaum muslimin yang benar. Di manakah kita pada hari ini dari lebaran ini? Di manakah lebaran-lebaran ini dari kita? Apakah bagian kita dari pengertian ini? Di manakah bekas ibadah dari pengaruh kebiasaan dalam lebaran kita?

Sesungguhnya yang disayangkan bahwa sebagian kaum muslimin melepaskan lebaran-lebaran ini dari pakaian agama, mengosongkannya dari nilai-nilai kerohnian yang menyejukan jiwa dengan kesenangan dan ketenangan. Bahkan sebagian kaum muslimin menghadapi lebaran dengan semangat yang lemah dan perasaan yang dingin, sehingga lebaran seolah-olah kegiatan perdagangan yang mengikuti kesuburan dan kekeringan, terpengaruh dengan kesusahan dan kemudahan, keuntungan dan kerugian, tanpa ungkapan rohani yang mempengaruhi dan tidak terpengaruh.

Sungguh di antara hak lebaran adalah bahwa kita merasa bahagia dan di antara hak kita adalah bahwa kita saling mengucapkan selamat dan menghilangkan kesedihan serta saling memberikan muka ceria, maka sesungguhnya hak saudara-saudara kita yang tersuir lagi tersiksa di timur dan barat adalah bahwa kita merasa berduka karena kesedihan mereka, dan memperhatikan persoalan mereka. Maka masyarakat yang bahagia adalah masyarakat yang memiliki akhlak yang tinggi di hari lebaran dan perasaan kemanusiannya memanjang sejauh mata memandang. Dan hal itu nampak di hari lebaran saling tolong menolong lagi saling berkasih sayang, sehingga hatinya dipenuhi dengan rasa cinta, kebajikan, dan kasih sayang. Dan  ikut merasakan musibah saudara-saudara mereka di berbagai penjuru dunia saat mereka mendapat bencana dan musibah.
Bukanlah maksudnya mengucurkan air mata dan memakai baju duka cita sebagaimana orang yang berduka saat kehilangan kekasih atau kerabat, dan bukan pula tidak mau makan seperti yang dilakukan oleh orang yang puasa.

Namun maksudnya adalah bahwa di hari lebaran, kita nampak dengan penampilan umat yang mengerti, yang selalu seimbang di antara kesenangan dan kesedihan, maka perayaan kita dengan hari lebaran jangan menghalangi perasaan kita terhadap musibah yang menimba saudara kita.
Yang dimaksudkan dari hal itu bahwa kita sederhana dalam kebahagiaan dan berbelanja, agar kita bisa membantu umat kita dalam pertarungannya yang pahit lagi berdarah.

Juga maksudnya adalah kita merasakan persaudaraan yang kuat di hari lebaran, maka nampak dalam pembicaraan kita tentang bencana dan perjuangan saudara-saudara kita yang menguatkan semangat, membuka tangan untuk memberi dan mengucapkan doa, inilah duka cita yang diterjemahkan kepada amal nyata.

Wahai  muslim yang berbahagia dengan hari lebaran: tidak diragukan bahwa engkau bersiap-siap atau sudah bersiap-siap untuk lebaran siapapun engkau, atau engkau ibu atau anak muda, atau wanita remaja. Tidak diragukan bahwa engkau telah menyiapkan segala kebutuhan lebaran berupa pakaian, makanan dan yang lainnya. Tambahkanlah atas semua itu persiapan sebagai ungkapan rasa syukur, menambahkan cahaya catatan amalmu. Persiapan yang lebih mulia di sisi Allah I dan lebih pasti dalam pandangan persaudaraan.

Ketahuilah, ia adalah persiapanmu untuk melapangkan kesusahan orang yang ada di sekitarmu, orang-orang yang tidak mampu dari para tetangga, atau kerib kerabat atau semisal mereka. Perhatikanlan mereka, tanyakanlah kebutuhan mereka, dan segeralah masukkan rasa senang di relung hati mereka.

Jika keuangan tidak menolongmu, maka setidaknya engkau bisa memberikan kata-kata yang baik, senyuman yang indah, dan anggukan kepala yang suci.

Ingatlah di hari lebaran, sedang engkau mengecup kedua orang tuamu, menyalami istri, saudara, anak-anak dan karib kerabatmu. Maka berkumpul semuanya di atas makanan enak, minuman yang segar. Ingatlah anak-anak yatim yang di pagi hari itu tidak merasakan kasih sayang sang ayah, para janda yang tidak mendapatkan senyuman suami, bapak-bapak dan ibu-ibu yang tidak mendapatkan anak, dan jamaah yang banyak dari saudaramu yang terusir secara zalim, tercabik-cabik. Maka apabila di hari lebaran mereka beruari air mata, menyetrika dengan api, dan tidak mendapat ketenangan.

Ingatlah di hari lebaran, engkau tinggal di tempat yang teduh, tempat tinggalmu yang luas, kasurmu yang empuk. Ingatlah saudara-saudaramu yang berkasurkan debu, berselimut khadhra, dan menderita di tempat terbuka.

Ingatlah bahwa ketika engkau mengobati luka mereka dan menutupi kebutuhan mereka sesungguhnya engkau menutupi kebutuhanmu dan mengobati luka mereka:

﴿ وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ [التوبة:71]،
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain.. (QS. at-Taubah:71)

﴿ وَمَا تُنفِقُواْ مِنْ خَيْرٍ فَلأنفُسِكُمْ [البقرة:272]،
Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya. (QS. at-Taubah 272)

مَنْ عَمِلَ صَالِحاً فَلِنَفْسِهِ
Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri (QS. Fashshilat :46)

من نفّس عن مؤمنٍ كربة من كرب الدنيا نفّس الله عنه كربة من كرب يوم القيامة، والله في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه
"Barangsiapa yang melapangkan kesusahan dari seorang mukmin dari kesusahan dunia niscaya Allah I melapangkan darinya kesusahan dari kesusahan hari kiamat. Allah I selalu menolong hamba selama hamba itu menolong saudaranya."

من لم يهتم بأمور المسلمين فليس منهم
"Barangsiapa yang mengurus perkara kaum muslimin maka ia bukan dari mereka."

مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم كمثل الجسد الواحد، إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالحمى والسهر.
"Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam kasih sayang, kecintaan mereka adalah bagaimana satu tubuh. Apabila satu anggota tubuh mengeluh niscaya semua tubuh ikut merasakan panas dan tidak bisa tidur."
Semoga Allah I memberi berkah untuk kaum muslimin di hari lebaran mereka, meneguhkan untuk mereka agama mereka yang Dia  ridha untuk mereka. Semoga shalawat dan salam selalu tercurah kepada nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya .

29 Agustus 2010

Lailatul Qadar



Apa Lailatul Qadar Itu?

By: agussyafii

Suatu malam anak-anak Amalia duduk melingkar, kami sedang belajar mengaji. Nampak anak-anak setelah menghapal surat-surat Juz Amma'. Eko bertanya, 'Kak, Apa sih Lailatul Qadar itu?'

Saya jelaskan kepada Eko dan juga anak-anak Amalia bahwa Lailat al qadar adalah anugerah Allah Subhanahu Wa Ta'ala, dan hanya orang yang layak yang dapat memperolehnya. Mereka adalah orang yang sejak awal berpuasa dengan semangat kepatuhan, kecintaan dan tahu diri. Ia bukan hanya berpuasa dari makanan, tetapi semua anggauta badanya ikut puasa dari semua yang tidak sepantasnya dikerjakan.. Kesungguhan dan konsistensi berpuasa dan didukung oleh ibadah lainnya selama duapuluh hari pertama, insya Allah bisa membawa suasana batin pelakunya pada kebersihan jiwa yang siap menerima anugerah lailat al qadar. Itulah maka lailat al qadar diisyaratkan turun pada akhir bulan Ramadhan.

Diantara keutamaan Ramadhan adalah adanya suatu malam yang disebut lailatul qadar. Secara harfiah, lailat al qadar artinya adalah malam penentuan, artinya pada malam itu ada satu keputusan sangat penting yang sangat menguntungkan bagi orang yang memperolehnya. Menurut al Qur'an, lailatul qadar berbobot setara dengan seribu bulan, bahkan lebih (khoirun min alfi syahr). Digambarkan bahwa pada malam itu aktifitas alam malakut sungguh luar biasa sibuknya, karena pada malam itu malaikat hilir mudik turun naik, naik ke langit membawa doa dan harapan manusia dan turun ke bumi menyampaikan keputusan Allah Subhanahu Wa Ta'ala menyangkut berbagai perkara (min kulli amr). Digambarkan bahwa suasana super istimewa itu berlangsung pada malam itu sejak Isya hingga fajar terbit (salamun hiya hatta matla` al fajr).

'Kapan malam itu terjadi Kak Agus?' Tanya Lita.

Anak-anak Amalia terlihat mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Saya jelaskan kepada mereka bahwa segala sesuatu yang bermakna tinggi pasti tidak sederhana. Ia tidak berada di tempat terbuka, tetapi tersembunyi di tempat yang pelik, oleh karena itu hanya orang yang tabah dan kuat serta sungguh-sunggguh sajalah yang berpeluang memperolehnya. Menurut sebuah hadis Nabi, lailatul qadar memang berada dalam salah satu dari 30 malam Ramadhan. Ketika didesak oleh para sahabat, Nabi menyebut waktu yakni pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan (`asyr al 'awakhir). Ketika didesak lagi Nabi menyebut waktu, yakni sekitar malam 27, 29 atau bahkan malam Id al Fitri.

'Apa maknanya Kak?' Tanya Lusi.

Artinya jika orang ingin meraih keutamaan, ia tidak boleh asal-asalan, atau mengambil jalan pintas, tetapi harus serius dari awal pekerjaan hingga akhir. Orang tidak bisa berspekulasi. kita tidak usah puasa dan tarawih pada awal bulan Ramadhan, tetapi cukuplah kita sungguh-sungguh pada malam-malam ganjil di akhir bulan, khususnya malam 27,29 dan malam Id. Bukankah lailatul qadar setara dengan seribu bulan ? apalah artinya tidak puasa duapuluh hari pertama, kan tertutup oleh pahala lailatul qadar ?

Ibadah mengandung arti tunduk, patuh, hormat dan tahu diri, bukan akal-akalan, karena kita berhadapan dengan Allah Subhanahu Wa Ta'ala Yang Maha Mengetahui. Ibadah itu bukan hanya pekerjaan fisik, tetapi lebih pada pekerjaan hati dan hati nurani. Khusyuknya salat misalnya tidak terjadi setiap kita menginginkan, tetapi ia merupakan buah dari ibadah yang sudah lama dikerjakan. Mengerjakan salat bisa dilakukan dadakan, tetapi mendirikan salat (iqam as salat) hanya bisa dilakukan setelah lama mengerjakannya secara konsisten. Dari konsistensi itulah terbangun suasana batin, dan dari suasana batin itulah lahir kekhusyu'an.

Dari hadis Nabi dapat difahami, bahwa nikmatnya salat khusyu' setara dengan perasaan orang yang jatuh cinta, indah, lembut dan penuh emosional, terkadang menangis. Demikian juga ibadah puasa, sekedar tidak makan minum adalah mudah tetapi berpuasa dari semua hal yang tidak pantas membutuhkan pengalaman dan konsistensi.

Itulah sebabnya kenapa malam Lailat al qadar adalah anugerah Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan hanya orang yang layak yang dapat memperolehnya. Mereka adalah orang yang sejak awal berpuasa dengan semangat kepatuhan, kecintaan dan tahu diri. Ia bukan hanya berpuasa dari makanan, tetapi semua anggauta badanya ikut puasa dari semua yang tidak sepantasnya dikerjakan.. Kesungguhan dan konsistensi berpuasa dan didukung oleh ibadah lainnya selama duapuluh hari pertama, insya Allah bisa membawa suasana batin pelakunya pada kebersihan jiwa yang siap menerima anugerah lailat al qadar. Itulah maka lailat al qadar diisyaratkan turun pada akhir bulan Ramadhan.



Wassalam,
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...